Jakarta
Tokyo
London
New York
Sydney
Latest News :

Pertumbuhan Ekonomi Bagus, tapi Siapa yang Untung?

February 08, 2012

Biro Pusat Statistik merilis laporan yang cukup menggembirakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai level tertingginya dalam 15 tahun terakhir.

Didalam pernyataannya Ketua BPS Suryamin, mengungkap ekonomi Indonesia tumbuh 6,5 persen ditahun lalu dan ini merupakan pertumbuhan terbesar sejak krisis keuangan Asia 1997-98. Beliau menambahkan faktor yang mendorong kenaikan ini adalah tingginya konsumsi domestik. Angka yang cukup fantastis ditengah-tengah suramnya pertumbuhan ekonomi global.

Suryamin juga menyatakan pendapatan perkapita meningkat 18 persen menjadi Rp.31,8 juta dibanding tahun lalu Rp.27,1 juta di 2010. Diakhir 2011 besaran ekonomi Indonesia mencapai Rp.7.427,1 triliun.

Menurut laporan pemerintah di Januari, jumlah penduduk miskin turun 130.000 menjadi 29,89 juta di September. Sementara menurut BPS penurunan golongan miskin atau pendapatan rendah di Indonesia memang turun tapi pelan, kontras jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi yang dinilai cepat.

Sekali lagi dapat kita simpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi sama sekali tidak mempengaruhi golongan miskin. Jika mengacu kepada data tahun lalu, maka pendapatan perkapita per orang di Indonesia mencapai 233.740 perbulan, jika dirata-ratakan menjadi Rp.8.000 per kapita per hari. Angka yang menurut saya sangat tidak layak dan tidak cukup untuk hidup nyaman.

Salah satu indikator tidak meratanya distribusi kekayaan adalah perbedaan pendapatan per kapita yang mencolok antara satu daerah dengan daerah lainnya. Di Jakarta sendiri pendapatan per kapita mencapai Rp.360.000 per bulan atau sekitar Rp.12.000 per hari di 2011.

Jika kita bandingkan dengan pernyataan BPS sebelumnya bahwa faktor yang mendorong naiknya pertumbuhan ekonomi adalah konsumen, maka muncul pertanyaan konsumen yang mana? Dapat dengan mudah disimpulkan tingginya konsumsi pasti bukan berasal dari golongan ekonomi lemah, jika mengacu kepada fakta betapa lemahnya daya konsumsi mereka.

Data yang diajukan BPS tentu saja benar adanya, akan tetapi diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif didalam memaparkan data. Misalnya apa saja barang yang dikonsumsi, apakah barang konsumsi termasuk barang mewah, berapa jumlah transaksi per orang, data-data ini jika dimunculkan tentu saja akan memberi gambaran kepada kita seberapa signifikan dampak perbaikan ekonomi terhadap masyarakat.

Yang menjadi kekhawatiran adalah jika ternyata konsumsi yang begitu tinggi ternyata didominasi golongan tertentu, contohnya menengah-atas. Bisa saja data konsumsi yang dimunculkan oleh BPS hanya mengulas dan menghitung konsumsi yang dilakukan golongan tertentu tersebut. Saking besarnya konsumsi golongan itu sehingga seolah-olah mewakili konsumsi seluruh masyarakat Indonesia.

Kita juga belum memasukkan beberapa faktor penting yang sebenarnya dapat menggugat data-data tersebut, diantaranya masih tingginya korupsi dikalangan pejabat negara yang tentu saja melibatkan pihak eksternal seperti pengusaha. Bagaimana mungkin ditengah tingginya level korupsi, pertumbuhan ekonomi justru melonjak tinggi. Perlu ada penjelasan yang lebih jelas bukan sekedar angka-angka yang sulit untuk dicerna kelogisannya. Baru-baru ini terjadi demonstrasi buruh yang menuntut kenaikan upah dan kesejahteraan. Konflik domestik terkait sara yang memperlihatkan tingginya rasa frustasi masyarakat sehingga cenderung berperilaku destruktif.

Jika perekonomian betul-betul membaik dan menyentuh semua lapis masyarakat, seharusnya tidak ada lagi perbuatan-perbuatan kriminal dan konflik (atau setidaknya persentasenya menurun). Analoginya jika perut kenyang pastilah orang lebih banyak diam.

Belum lagi konflik-konflik yang terjadi didaerah seperti Papua. Wilayah kaya yang potensi ekonominya salah satu yang terbesar di Indonesia, tapi malang masyarakatnya masih hidup dibawah garis kemiskinan, tidak ada infrastruktur yang memadai, distribusi barang-barang kebutuhan yang masih sulit, menyebabkan tingginya biaya hidup.

Sekali lagi dapat dikatakan bahwa baiknya pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak lantas memperbaiki kondisi perekonomian masyarakat.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia boleh tinggi tapi perlu dipahami bahwa Indonesia juga termasuk negara dengan potensi korupsi tinggi disegala lini. Jika tidak segera ditanggulangi maka korupsi akan menggerogoti pertumbuhan ekonomi, memicu ketidakstabilan sosial dan tentu saja biaya untuk menyelenggarakan bisnis meroket akibat pungli yang juga merupakan bagian dari praktek korupsi.

Ironis jika melihat fakta bahwa Indonesia terkenal sebagai salah satu negara paling korup di dunia menurut versi Asian Development Bank dan saat ini masih berada dilevel bawah namun memiliki pertumbuhan ekonomi yang relatif robust.

Global Asian didalam studinya mencoba mengaitkan antara korupsi dan pertumbuhan ekonomi, dimana kesimpulannya adalah beberapa tindakan korupsi dapat dikategorikan “baik” dalam artian, membantu sektor swasta dalam menembus birokrasi yang berbelit-belit, khususnya ketika jalan potong perlu dilakukan jika ada konflik regulasi. Tindakan memberi pelicin inilah yang pada akhirnya memacu pertumbuhan ekonomi, karena bisnis dapat segera diselenggarakan alis tidak dihambat.

Dalam kajian lanjutan, praktek seperti ini tidak akan bertahan lama dan dalam waktu cepat akan berdampak kepada pertumbuhan ekonomi. Ketika korupsi sudah menjadi sebuah tabiat dan kebiasaan yang berlaku dari level atas kebawah maka masing-masing unsur ini akan secara terus menerus menuntut bagian, akhirnya dapat kita perkirakan, perekonomian akan hancur.

Nah akhirnya kita bisa menilah siapakah sebenarnya yang menikmati positifnya pertumbuhan ekonomi Indonesia?



Sumber: Financeroll
Share this Article on :

0 comments:

Post a Comment

Latest News

 

© Copyright KABAR MARKET 2011 | Powered by Blogger.com.