Biro Pusat Statistik merilis laporan yang cukup menggembirakan bahwa
pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai level tertingginya dalam 15 tahun
terakhir.
Didalam pernyataannya Ketua BPS Suryamin, mengungkap ekonomi
Indonesia tumbuh 6,5 persen ditahun lalu dan ini merupakan pertumbuhan
terbesar sejak krisis keuangan Asia 1997-98. Beliau menambahkan faktor
yang mendorong kenaikan ini adalah tingginya konsumsi domestik. Angka
yang cukup fantastis ditengah-tengah suramnya pertumbuhan ekonomi
global.
Suryamin juga menyatakan pendapatan perkapita meningkat 18 persen
menjadi Rp.31,8 juta dibanding tahun lalu Rp.27,1 juta di 2010. Diakhir
2011 besaran ekonomi Indonesia mencapai Rp.7.427,1 triliun.
Menurut laporan pemerintah di Januari, jumlah penduduk miskin turun
130.000 menjadi 29,89 juta di September. Sementara menurut BPS penurunan
golongan miskin atau pendapatan rendah di Indonesia memang turun tapi
pelan, kontras jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi yang dinilai
cepat.
Sekali lagi dapat kita simpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi sama
sekali tidak mempengaruhi golongan miskin. Jika mengacu kepada data
tahun lalu, maka pendapatan perkapita per orang di Indonesia mencapai
233.740 perbulan, jika dirata-ratakan menjadi Rp.8.000 per kapita per
hari. Angka yang menurut saya sangat tidak layak dan tidak cukup untuk
hidup nyaman.
Salah satu indikator tidak meratanya distribusi kekayaan adalah
perbedaan pendapatan per kapita yang mencolok antara satu daerah dengan
daerah lainnya. Di Jakarta sendiri pendapatan per kapita mencapai
Rp.360.000 per bulan atau sekitar Rp.12.000 per hari di 2011.
Jika kita bandingkan dengan pernyataan BPS sebelumnya bahwa faktor
yang mendorong naiknya pertumbuhan ekonomi adalah konsumen, maka muncul
pertanyaan konsumen yang mana? Dapat dengan mudah disimpulkan tingginya
konsumsi pasti bukan berasal dari golongan ekonomi lemah, jika mengacu
kepada fakta betapa lemahnya daya konsumsi mereka.
Data yang diajukan BPS tentu saja benar adanya, akan tetapi
diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif didalam memaparkan data.
Misalnya apa saja barang yang dikonsumsi, apakah barang konsumsi
termasuk barang mewah, berapa jumlah transaksi per orang, data-data ini
jika dimunculkan tentu saja akan memberi gambaran kepada kita seberapa
signifikan dampak perbaikan ekonomi terhadap masyarakat.
Yang menjadi kekhawatiran adalah jika ternyata konsumsi yang begitu
tinggi ternyata didominasi golongan tertentu, contohnya menengah-atas.
Bisa saja data konsumsi yang dimunculkan oleh BPS hanya mengulas dan
menghitung konsumsi yang dilakukan golongan tertentu tersebut. Saking
besarnya konsumsi golongan itu sehingga seolah-olah mewakili konsumsi
seluruh masyarakat Indonesia.
Kita juga belum memasukkan beberapa faktor penting yang sebenarnya
dapat menggugat data-data tersebut, diantaranya masih tingginya korupsi
dikalangan pejabat negara yang tentu saja melibatkan pihak eksternal
seperti pengusaha. Bagaimana mungkin ditengah tingginya level korupsi,
pertumbuhan ekonomi justru melonjak tinggi. Perlu ada penjelasan yang
lebih jelas bukan sekedar angka-angka yang sulit untuk dicerna
kelogisannya. Baru-baru ini terjadi demonstrasi buruh yang menuntut
kenaikan upah dan kesejahteraan. Konflik domestik terkait sara yang
memperlihatkan tingginya rasa frustasi masyarakat sehingga cenderung
berperilaku destruktif.
Jika perekonomian betul-betul membaik dan menyentuh semua lapis
masyarakat, seharusnya tidak ada lagi perbuatan-perbuatan kriminal dan
konflik (atau setidaknya persentasenya menurun). Analoginya jika perut
kenyang pastilah orang lebih banyak diam.
Belum lagi konflik-konflik yang terjadi didaerah seperti Papua.
Wilayah kaya yang potensi ekonominya salah satu yang terbesar di
Indonesia, tapi malang masyarakatnya masih hidup dibawah garis
kemiskinan, tidak ada infrastruktur yang memadai, distribusi
barang-barang kebutuhan yang masih sulit, menyebabkan tingginya biaya
hidup.
Sekali lagi dapat dikatakan bahwa baiknya pertumbuhan ekonomi
Indonesia tidak lantas memperbaiki kondisi perekonomian masyarakat.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia boleh tinggi tapi perlu dipahami bahwa
Indonesia juga termasuk negara dengan potensi korupsi tinggi disegala
lini. Jika tidak segera ditanggulangi maka korupsi akan menggerogoti
pertumbuhan ekonomi, memicu ketidakstabilan sosial dan tentu saja biaya
untuk menyelenggarakan bisnis meroket akibat pungli yang juga merupakan
bagian dari praktek korupsi.
Ironis jika melihat fakta bahwa Indonesia terkenal sebagai salah satu
negara paling korup di dunia menurut versi Asian Development Bank dan
saat ini masih berada dilevel bawah namun memiliki pertumbuhan ekonomi
yang relatif robust.
Global Asian didalam studinya mencoba mengaitkan antara korupsi dan
pertumbuhan ekonomi, dimana kesimpulannya adalah beberapa tindakan
korupsi dapat dikategorikan “baik” dalam artian, membantu sektor swasta
dalam menembus birokrasi yang berbelit-belit, khususnya ketika jalan
potong perlu dilakukan jika ada konflik regulasi. Tindakan memberi
pelicin inilah yang pada akhirnya memacu pertumbuhan ekonomi, karena
bisnis dapat segera diselenggarakan alis tidak dihambat.
Dalam kajian lanjutan, praktek seperti ini tidak akan bertahan lama
dan dalam waktu cepat akan berdampak kepada pertumbuhan ekonomi. Ketika
korupsi sudah menjadi sebuah tabiat dan kebiasaan yang berlaku dari
level atas kebawah maka masing-masing unsur ini akan secara terus
menerus menuntut bagian, akhirnya dapat kita perkirakan, perekonomian
akan hancur.
Nah akhirnya kita bisa menilah siapakah sebenarnya yang menikmati positifnya pertumbuhan ekonomi Indonesia?
Sumber: Financeroll
0 comments:
Post a Comment