Ada hal  yang menarik disimak dari bisnis Trihatma Kusuma Haliman. 
Pemimpin Grup  Agung Podomoro ini tidak sekadar bergerak agresif 
mendirikan mal, pusat  perkantoran, sentra hunian apartemen dan 
perumahan, tetapi ada sesuatu  yang khas dari langgam Trihatma dalam 
berbisnis.  
Kekhasan  itu tidak sekadar ditunjukkan dengan produk
 yang bermutu dan selalu  laris manis di pasaran, tetapi karena grup 
usaha ini memiliki hal   tipikal yang membuatnya masyhur, yakni nyali, 
elan, dan moral. 
Para  penyuka mal tentu masih ingat bahwa pada  
era 1990-an sampai era  2000-an Plaza Senayan menjadi salah satu plaza 
atau mal terbaik di  Indonesia. Di dekat Plaza Senayan, dalam hitungan 
”sepelemparan batu”,  tegak tiga pusat belanja yang bukan kelas 
”kalengan”. Namun, Plaza  Senayan sulit disaingi. Ia tetap berada di 
panggung elite Indonesia.  Pengunjung rela antre berbelanja, makan, 
ngupi-ngupi, dan bahkan cukur  rambut. 
Dengan latar belakang seperti ini, mengapa Anda membangun Senayan City? Tidak takut tergulung? 
Saya
  justru melihat peluang sangat terbuka di situ. Bayangkan, di Plaza  
Senayan, pengusaha yang hendak  membuka gerai baru mesti antre panjang, 
 entah kapan mendapat giliran masuk plaza tersebut. Sejumlah penghasil  
produk premium membuka gerai di plaza papan atas tidak sekadar karena  
ingin komoditasnya laku, tetapi juga untuk menunjukkan mereka berada di 
 panggung prestisius. 
Kami tidak giris dengan kondisi itu. Kami  
membangun Senayan City dan dibuka Juni 2006. Letaknya persis di seberang
  Plaza Senayan. Luas area malnya tidak tanggung-tanggung, 78.000 meter 
 persegi (total area bangunan 238.000 meter persegi). 
Banyak 
 kalangan mempertanyakan ”hitungan bisnis” Anda. Magnet apa yang hendak 
 digunakan untuk menarik pengunjung? Areal mal yang luas tidak mudah  
diisi para pebisnis.
(Tertawa). Saya selalu berpikir 
optimistis.  Menurut survei sederhana yang dilakukan tim kami, ada fakta
 bahwa warga  Jabodetabek dan warga Indonesia di provinsi lain yang 
datang ke Jakarta  masih membutuhkan mal bermutu.  Saya merasa terajak 
masuk ke panggung  kompetisi bisnis mal. Saya percaya kepada rahmat 
Tuhan, pun percaya  bahwa dengan strategi bisnis yang baik, langkas 
bekerja, kerja tim yang  harmonis, keinginan meraih mal yang baik akan 
terwujud. 
Ada yang Anda tekankan?
Saya  
menggarisbawahi aspek  nyali. Bagi saya, konsep bisa bagus, tim bisa  
kuat, jaringan bisa luas, tetapi tanpa nyali, tanpa elan, semua aspek  
besar itu tidak akan berarti apa-apa. 
Jangan pernah abaikan aspek
  nyali. Senayan City kini bersinar terang dan ramai. Antrean untuk  
membuka gerai usaha cukup panjang. Dalam pertemuan properti di Singapura
  dan Shanghai baru-baru ini, Senayan City menjadi salah satu mal yang  
ramai dipercakapkan karena dipandang memberi nuansa baru. 
Senayan City menjadi tonggak baru bagi Agung Podomoro Group?
Bisa
  juga disebut begitu, sebab begitu Senayan City sukses, kami membangun 
 Mall of Indonesia (MOI). Mal ini dibangun juga dengan nyali, sebab di  
sekitarnya terdapat setidaknya dua mal besar, yakni Mal Kelapa Gading  
dan Mal Artha Gading. Yang kemudian terjadi, MOI juga meraih pangsa  
besar dalam kancah mal di area regional. Dengan MOI, kami ingin membawa 
 keriangan dalam mal. Kami pun seolah ingin memberi tahu publik bahwa di
  samping panggung belanja, makan, dan bisnis, ada sisi lain dari mal,  
yakni arena bermain untuk anak-anak, remaja, dan bahkan kalangan dewasa.
  Ajakan inilah yang membuat MOI ramai. 
Setelah MOI?
Kami
  tidak bisa berhenti, tidak ingin momen emas itu lesap. Kami membangun 
 mal baru, Central Park. Pembangunan mal ini menimbulkan tanda tanya  
sebab dibangun di antara dua mal yang ramai, yakni Mal Taman Anggrek dan
  Mal Ciputra. 
Seperti dugaan kami, Central Park  yang dibuka   
pada tanggal 9 bulan 9 tahun 2009 ini segera merebut hati publik  
Indonesia. Publik suka dengan mal yang tegak di areal seluas 125.000  
meter persegi itu. Mereka merasa tersihir oleh area hijau seluas 1,5  
hektar. Dan hal yang menggetarkan, Central Park menjadi primadona  
properti Asia dalam bersaing dengan mal-mal yang ada di belahan dunia  
lain, di Shanghai beberapa bulan lalu. 
Saya tidak ngecap lho.  
Tetapi lihatlah sendiri, taman Central Park menggenggam pesona. Ratusan 
 pohon elok hidup berdampingan dengan air mancur spektakuler. Adapun 
enam  kolam ikan koi bagai telaga kecil yang siap menyedot keresahan 
manusia.  Di beberapa titik, terdapat arena bermain yang menyenangkan. 
Ada pula  belasan barisan tempat duduk panjang yang memungkinkan warga 
Jakarta  belajar atau bekerja dengan laptop atau iPad-nya di situ. Kalau
 letih  belajar, sesekali pandanglah pohon stopedia dan trembesi yang 
sungguh  rindang. Damai terasa menyelusup ke pedalaman sukma. 
Anda terkesan gencar membangun  apartemen. Mengapa?
Benar.
  Kami sudah membangun 220 menara apartemen, 8 mal, 36 gedung  
perkantoran. Mimpi kami adalah membangun ”kota dalam kota” dalam skala  
besar. Maka kami membangun sejumlah superblok yang spektakuler.  
Superblok di Central Park misalnya, yang menggunakan nama Podomoro City.
  Di ”kota” dengan luas 9,7 hektar itu terdapat  pusat bisnis menengah  
sampai raksasa. Ada mal, sentra perkantoran. apartemen. Ada pula  
sekolah, pusat olahraga, kesehatan, rehabilitasi medik, pusat belanja,  
sentra restoran, rumah makan sederhana, kantor-kantor pemerintah. 
Dengan
  segenap fasilitas itu, kami ingin warga mengurangi jumlah bepergian,  
memotong perjalanan.  Untuk merengkuh semua lokasi, cukup  dengan  
berjalan kaki atau bersepeda. 
Formula ”kota dalam kota” saya  
yakini akan sangat mengatasi kemacetan. Pun hemat energi, irit bahan  
bakar, tidak menambah polusi dan tidak menimbun stres. Saya lega sudah  
membangun setidaknya tujuh ”kota dalam kota”. Dalam satu kota, bisa  
terdapat hunian puluhan ribu warga, tergantung besaran ”kota dalam kota 
 tersebut”. 
Dari formula ini lalu muncul pertanyaan, apakah 
dengan  demikian warga yang bekerja di Jakarta sebaiknya tinggal di 
Jakarta.  Warga yang bekerja di Bogor sebaiknya tinggal di Bogor?
Untuk
  berdomisili di Bogor, tetapi lebih suka bekerja di Jakarta adalah hak 
 warga. Begitu pula berdomisili di Depok, Bekasi, bahkan Cianjur, tetapi
  memilih bekerja di Jakarta juga menjadi hak setiap warga. Bagi saya,  
megasuperblok atau ”kota dalam kota” itu hanya sebuah tawaran atau  
sebutlah gugahan untuk hidup dan bekerja lebih efisien. Konsep itu bisa 
 juga berupa ajakan, sebab alangkah indahnya kalau waktu tiga sampai  
empat jam yang biasa dihabiskan untuk perjalanan ke kantor atau pulang  
kantor digunakan sebaik-baiknya untuk bekerja, berolahraga, atau bahkan 
 mendengar musik atau mendengar kicau burung lebih lama. 
Bicara tentang Anda, kapan mulai meniti karier di Agung Podomoro?
Ketika
  pulang dari sekolah arsitektur di Kaiserslautern, Jerman, 1973, saya  
 langsung terjun ke lapangan. Saya ikut menyekop campuran semen, 
menyusun  batu, memasang atap, makan bersama dengan para tukang. 
Anda menyukai detail pekerjaan. Mengapa?
Iya,
  saya menganggap itu aspek yang amat penting. Kita kan terbiasa bicara 
 besar, tetapi lupa pada detail-detailnya. Maka, setiap hari saya  
menyempatkan diri datang langsung ke lapangan dan menyapa para staf.  
Saya tidak mau hanya menyuruh, tetapi menanyakan kebutuhan mereka. Mesti
  ada upaya lebih menyejahterakan karyawan. Dialog dengan karyawan juga 
 asyik. Bisa dapat banyak masukan. 
Anda menyukai percakapan 
yang  menyentuh masalah moral dan hal-hal yang berkaitan dengan 
kemanusiaan.  Ada peristiwa yang berkesan?
Sebetulnya tidak 
juga. Saya acap  bicara moral semata karena ingin menekankan moral 
tinggi dan etik dalam  bekerja. Saya pun mengajak para staf untuk 
menghargai pertemanan. Mau  mendengar teman berkeluh-kesah, bersimpati 
kepada kaum papa. Kalau perlu  bangun rumah untuk mereka. 
Saya 
kerap menggamit staf untuk  melihat rumah-rumah penduduk seluas dua kali
 dua meter atau kawasan  marjinal di tepi sungai. Kita harus membantu 
mereka agar suatu saat  mereka memiliki rumah layak huni. Bukankah kita 
sama dengan mereka, yang  bisa sakit, menangis, terbahak-bahak. 
Ada yang hendak Anda sampaikan?
Oh,
  ya, saya hendak menekankan pentingnya harmoni keluarga. Bagi saya,  
kalau staf hidup harmonis, pekerjaannya akan keren. Sebaliknya kalau  
staf suka ribut di dalam keluarga, pekerjaannya pasti tidak beres. Dalam
  soal begini, saya tidak main-main. Saya bisa memberhentikan seorang  
eksekutif tingkat tinggi yang ketahuan menelantarkan istri. 
Marilah
  kita jujur, kalau kita pening, kepada siapa kita ajak bicara. Tentu  
kepada orang terdekat kita, yakni istri dan anak-anak. Kita stres dengan
  pekerjaan, ada istri yang datang menyapa kita dengan senyumannya yang 
 menyejukkan. Di bola mata istri, kita melihat telaga yang melegakan, di
  situlah kita berlabuh.
Sumber: Kompas

 

 

0 comments:
Post a Comment