Sekalipun sempat berfluktuasi pada tahun lalu, harga emas ternyata
berhasil mencatatkan pencapaian positif selama 11 tahun
berturut-turut. Untuk seminggu pertama tahun 2012, misalnya saja, emas
berjangka telah melaju 3,2 persen. Kontrak emas berjangka untuk
pengiriman Februari ada di harga 1.616,80 dollar AS per troy ounce
(setara dengan 31,1 gram) per Sabtu (7/1/2012), di Comex, New York.
Naik
turunnya harga emas kadang dipengaruhi masalah ekonomi, misalnya
menguat-melemahnya dollar AS ataupun euro. Atau, belakangan ini, harga
emas juga didorong oleh kondisi geopolitik seperti masalah nuklir
Iran.
Dari hal itu, seperti apa sebenarnya investasi si kuning
ini? Tim investor Forbes mengupas sedikit mengenai sejarah dan masa
depan emas. Menurut mereka, langkah awal yang harus dipahami bahwa
emas itu adalah investasi jangka panjang. Mengenai kecenderungan
harga, ada pernyataan yang menyebutkan setiap ada koreksi harga emas
itu biasanya merupakan tanda awal dari kondisi memburuknya pasar emas.
Forbes justru menilai, hal tersebut kurang tepat, setidaknya dalam
sepuluh tahun belakangan. Indikator teknis Forbes justru
memperlihatkan adanya sinyal positif untuk melakukan aksi beli.
Usut
punya usut, harga emas berkaitan dengan kondisi utang baik itu
pemerintah maupun swasta. Mengutip studi Stephen Cecchetti dan timnya
di Bank for International Settlements (BIS) yang sering disebut bank
sentralnya bank sentral, Forbes pun mengungkapkan, masalah utang yang
dihadapi negara-negara maju ternyata lebih sulit dari yang
diperkirakan. Faktanya, utang negara-negara kaya telah melonjak
drastis dari 165 persen dari PDB pada 30 tahun lalu menjadi 310 persen
sekarang ini. Jepang menjadi negara yang porsi utangnya terbesar
terhadap PDB (456 persen).
"Utang meningkat kepada level
melebihi apapun yang pernah kami lihat, kecuali selama perang-perang
utama. Rasio utang publik sekarang ini berada pada angka yang
fantastis di sejumlah negara. Negara-negara itu butuh implementasi
perubahan kebijakan yang drastis. Stabilisasi saja mungkin tidak
cukup," sebut studi Cecchetti.
Forbes pun melihat tidak ada tanda
kondisi utang ini membaik. Utang akan terus terakumulasi. Dengan
kecenderungan penerimaan pajak yang menurun untuk jangka panjang,
sekalipun tarif pajak terus naik, maka utang akan terus bertambah.
Tidak ada jalan lain untuk membayar utang selain dari mencetak uang.
Kondisi itu membuat emas sebagai satu- satunya uang riil yang akan
mempertahankan nilainya.
Emas kian langka?
Ada
anggapan, emas akan langka di masa depan. Forbes melihat ini suatu
hal yang mungkin. Pasalnya, sejumlah perusahaan pertambangan besar
menyatakan sulit untuk mencari lokasi cadangan emas yang baru.
Kedalaman untuk menemukan logam kuning ini bisa mencapai 4 kilometer.
Bahkan kondisi suhu yang harus dihadapi bisa sampai 130 derajat
Fahrenheit. Mahalnya biaya eksplorasi, ijin pemerintah setempat, hingga
lama waktu sebuah pertambangan untuk berproduksi menjadi sejumlah
tantangan lain untuk menghasilkan emas.
Di sisi lain, permintaan
emas kian melonjak. Sebut saja Cina dan India, dua negara yang
permintaan emasnya kini mencapai 52 persen dari total permintaan emas
dunia. Di negara-negara barat, kepemilikan emas dalam bentuk reksadana
memperketat pasokan emas di pasar. Misalnya saja di Inggris, reksadana
SPDR Gold Shares (GLS) kini menyimpan 1.200 ton emas. Semakin banyak
pembeli reksadana GLS dan reksadana sejenis lainnya, maka emas pun kian
sedikit di pasar.
Menurut kontributor Forbes, Bert Dohmen, saat ini berada pada titik dalam siklus jangka panjang di mana lembaga-lembaga mulai mempertimbangkan emas sebagai investable alias aset yang layak dalam portofolio mereka. Harga emas, masih dalam fase awal menguat.
Pada
tahun 1981, pihak Dohmen, memprediksi harga emas akan menurun selama 20
tahun dan kemudian diikuti siklus 30 tahun harga emas makin mahal.
"Harga emas mulai naik pada tahun 2001, tepat 20 tahun dari perhitungan
(tahun 1981). Jika (prediksi) siklus 30 tahun pasar emas menguat benar, maka ada cukup sedikit kegembiraan di masa depan," cetus dia.
Menurut Dohmen, pada
waktu memprediksi siklus harga emas, pihaknya belum mengetahui apa
penyebab kenaikan harga si logam mulia tersebut. Namun sekarang, lanjut
dia, dirinya tahu penyebabnya, yakni ancaman ledakan utang pemerintah di
seluruh dunia.
Ditegaskanya, melunasi utang tidak bisa hanya
dengan mengandalkan pajak saja, tetapi juga harus dengan mencetak uang.
Contoh kasusnya, jika saat ini Amerika Serikat mempunyai utang federal
sekitar 15 triliun dollar AS, dan meningkat 1,3 triliun dollar AS
per tahunnya. Dengan angka bunga tahunan 3 persen, utang itu akan
mencapai 62,8 triliun dollar AS dalam 20 tahun ke depan. Jumlah itu
pun belum termasuk dana Keamanan Sosial dan kesehatan.
Sementara
itu, karena bank sentral tidak bisa mencetak emas, bank sentral tidak
suka masyarakat menyingkirkan uang demi memburu emas. Dohmen pun
menduga, terjadinya koreksi harga emas yang tajam secara periodik adalah
untuk menghambat investasi emas.
Pemerintah negara-negara di
seluruh dunia, menurut Dohmen, hanya mempunyai satu cara untuk membayar
utang, yakni dengan terus mencetak uang dan berutang lagi, yang pada
akhirnya justru akan menghancurkan kekuatan membeli dari mata uang itu
sendiri. Dan akhirnya emas pun muncul sebagai satu-satunya store of value alias aset penyimpan nilai. Tapi untuk menuju kesana, emas akan sangat volatil.
Dari: Berbagai Sumber
0 comments:
Post a Comment