Krisis utang menjadi bagian sejarah euro setelah diluncurkan sepuluh
tahun lalu, dan Yunani menjadi negara yang paling parah. Meski diterpa
krisis, publik Yunani masih percaya dengan euro karena takut kembali ke
drachma justru bisa menjadi malapetaka.
Para politisi memang selama ini tetap teguh menolak kembali ke mata
uang lama, tapi hasil survei memastikan hal itu, publik Yunani tetap
ingin bergabung di zona euro. “Yunani telah dan akan selalu menjadi
bagian Uni Eropa dan euro,” kata Perdana Menteri Lucas Papademos, yang
menjabat sebagai gubernur bank sentral negara itu ketika euro
diluncurkan dan selanjutnya menjabat wakil presiden ECB.
Publik tetap memberi dukungan besar untuk euro, naik ke 80% menurut
polling terbaru, meski Yunani terjerumus resesi dan harus menjalani
program penghematan agar mendapat bailout. Tingkat pengangguran meroket,
dengan hampir separuh kaum muda tak punya pekerjaan.
Selain itu, kemungkinan Yunani keluar atau dikeluarkan dari zona euro
tidak hanya menjadi gagasan yang dilontarkan oleh politisi ekstrim.
Kanselir Jerman Angela Merkel dan Presiden Perancis Nicolas Sarkozy
memperingkatkan pada Nopember takkan membantu bila Yunani tidak mau
mengikuti persyaratan bailout. Terpaksa, akhirnya Yunani manggut juga.
Surat kabar mingguan Inggris The Economist, yang selama ini
berargumen Yunani akan default, baru-baru ini menyelenggarakan
konferensi di Athena mengenai kemungkinan keluar dari zona euro. Bahkan
mantan presiden Perancis, Valery Giscard d’Estaining, yang populer di
Yunani karena mendukungnya bergabung ke Uni Eropa, menyebut penerapan
mata uang itu sebagai kesalahan besar.
Kesalahan yang membuat pemerintah Yunani, meski terjadi pergantian,
terus meminjam yang uang hingga membuatnya tenggelam dalam utang.
Menggunungnya utang itu karena para pemimpin tak bisa membedakan antara
kredit dan pendapatan,” kata ahli sejarah Nicolas Bloudanis. “Dengan
bergabung dengan euro, Yunani bisa meminjam dengan biaya rendah. Tapi
hal itu malah membuat para politisi menambah simpatisan dengan merekrut
pegawai sebanyak mungkin,” tambahnya.
Selain itu, Yunani gagal menggunakan dana berlimpah dari Eropa yang
diterima pada era 1980an untuk meningkatkan daya saing industri dan
ekonominya, menurut Savas Robolis dari Panteion University di Athena.
“Keberlangsungan jutaan perusahaan tidak bisa bergantung hanya pada 3,7
juta konsumen Yunani, mereka harus ekspor,” kata professor ekonomi itu.
Namun Robolis, yang dekat dengan serikat kerja Yunani, memandang kembali
ke drachma akan justru akan membawa Yunani kembali ke status negara
terbelakang (underdeveloped).
Ekonom lainnya, Yannis Varoufakis dari University of Athens,
berargumen biaya meninggalkan euro jauh lebih besar dari
mempertahankannya. Ia yakin depresiasi nilai drachma akan memicu
pergeseran nilai di negara itu dari kaum miskin yang tabungan dan
gajinya menjadi tak bernilai, ke kaya yang memarkir kekayaannya di luar
negeri.
Dari: Berbagai Sumber
0 comments:
Post a Comment